Setiap jengkal tanah kena bea karena negara memungut pajak bumi dan bangunan (PBB). Bahkan, Pemkab Ponorogo berani mematok target PBB senilai Rp 20,3 miliar setahun. Namun, dinas pendapatan pengelola keuangan dan aset daerah (DPPKAD) sebagai pemungut PBB baru mampu menagih sebesar Rp 11 miliar. Padahal, deadline pembayaran PBB sudah jatuh 31 Juli lalu. ‘’Belum tertagih semuanya, kami akan meminta tambahan waktu ke bupati hingga September mendatang,’’ kata Kepala DPPKAD Ponorogo Bambang Tri Wahono, kemarin.
Bambang berdalih banyaknya wajib pajak (WP) yang berada di luar kota menjadi penyebab tingginya tunggakan PBB. Kepemiliklan tanah dan bangunan di wilayah kota yang berada di tangan warga luar daerah membuat DPPKAD kesulitan menagih. ‘’Untuk wajib pajak yang berada di wilayah pedesaan, pembayarannya malah lancar. Mereka melunasi PBB setelah masa panen, beda dengan yang di perkotaan karena pemilik lahan atau bangunan tidak ada di tempat. Kami kesulitan memberikan surat tagihan pajak,’’ ungkapnya.
Dia lantas tunjuk data realisasi PBB di Kecamatan Ponorogo yang baru mencapai 32,4 persen. Dari target Rp 4,5 miliar hanya tertagih Rp 1,4 miliar. Berbeda dengan kecamatan lain yang PBB-nya rata-rata sudah terealisasi 50 persen (selengkapnya lihat grafis). Kata Bambang, pihaknya selama ini sudah berupaya melayangkan surat tagihan ke pemilih lahan dan bangunan yang kedapatan belum melunasi PBB. ‘’Dikomunikasikan penyelesaiannya seperti apa, kami optimistis bisa tertagih semua. Begitu juga tunggakan PBB sebesar Rp 400 juta yang belum terbayar tahun lalu,’’ jelasnya.
Namun, ada juga WP yang tinggal di wilayah pedesaan belum melunasi PBB kendati jumlahnya tidak begitu banyak. Momentum Lebaran sengaja dijadikan alasan WP di desa tidak segera melunasi PBB-nya. ‘’Kami sudah instruksikan perangkat desa maupun koordinator penagihan di kecamatan untuk melakukan tagihan selepas Idul Fitri,’’ ujarnya.
Bambang mengklaim target PBB tahun ini jauh lebih besar dibandingkan 2013 lalu. Sebelumnya, PBB hanya di kisaran Rp 16 miliar. Setelah PBB dikelola penuh daerah, nominalnya naik menjadi Rp 20,3 miliar dengan total WP mencapai 600 ribu lebih. Kenaikan PBB itu juga didorong pertumbuhan bisnis properti. ‘’Kenaikan NJOP (nilai jual objek pajak, Red) juga berpengaruh pada meningkatnya target PBB tahun ini. Saat ini NJOP wilayah perkotaan meningkat hingga 25 persen,’’ katanya.
Kata Bambang, NJOP wilayah perkotaan yang dulu hanya di kisaran Rp 480 ribu permeter persegi, kini melonjak menjadi Rp 526 ribu dengan ukuran sama. Begitu juga untuk reklas tanah dan bangunan di pedesaan, dari Rp 46 ribu menjadi Rp 55 ribu. ‘’Meningkatnya target PBB ini sudah sesuai tuntutan, apalagi sejak 2007 lalu belum dilakukan appraisal,’’ paparnya.
Di sisi lain, pemkab juga memiliki ribuan meter persegi aset tanah yang wajib dibayar PBB-nya. Lantaran pemkab tidak kuat dibebani pembayaran pajak bumi dan bangunan, maka tagihannya sengaja dikenakan ke pengguna lahan. ‘’Kami masukkan ke tagihan sewa, jadi penyewanya yang membayar PBB,’’ ujarnya.
Perlu Delegasikan Tugas ke Camat
RENDAHNYA capaian realisasi pajak bumi bangunan (PBB) membuat Ketua Komisi B DPRD Ponorogo Agus Darmawan gerah. Politikus PDIP itu menilai sosialisasi dan kinerja rendah hingga dari target Rp 20,3 miliar hanya terealisasi Rp 11 miliar. ‘’PBB sekarang menjadi hak daerah, pemkab sudah memiliki kewenangan penuh,’’ kata Agus Darmawan, kemarin (3/8).
Dia mengapresiasi langkah Pemkab Ponorogo yang berani menaikkan target perolehan PBB tahun ini. Namun, tidak dibarengi sosialisasi dan pendelegasian wewenang yang jelas. Apalagi, nilai jual objek pajak (NJOP) juga sengaja ikut ditingkatkan untuk mengejar target. ‘’Saat hak pajak bumi dan bangunan diserahkan ke daerah, harusnya pengelolaannya lebih bagus. Kalau tahun sebelumnya ada tunggakan, sekarang harus nol. Akhir tahun ini mestinya sudah tidak ada lagi pajak yang tertunggak,’’ jelasnya.
Agus menyarankan pemkab memberikan kewenangan lebih ke camat untuk mengurusi PBB. Camat sebagai penguasa wilayah diberi tugas tambahan mengevaluasi penagihan pajak. ‘’Tidak mungkin di 307 desa dan kelurahan hanya diserahkan ke DPPKAD untuk penagihan pajak. Perlu pendelegasian tugas ke camat biar mengevaluasi kinerja kelurahan atau pemerintah desa dalam menagih PBB,’’ terangnya.
Pendelegasian tugas penagihan ke camat itu, imbuh dia, perlu dibarengi alokasi anggaran berupa insentif atau jasa pungut (japung). Pemkab harus memberikan reward pada pemerintah desa dan camat yang kinerjanya maksimal dalam menagih PBB. Agus yakin camat memiliki greget untuk mengevaluasi target penagihan PBB jika ada insentif. ‘’Distribusi kewenangan itu perlu, jangan semuanya ditangani pemkab sendiri. Harus ada bagi-bagi rezeki kalau sudah bilang soal target,’’ ungkapnya.
Kata Agus, juga harus ada punishment atau hukuman terhadap camat yang kinerjanya tidak maksimal dalam penagihan PBB. Jika deadline terlamapui tunggakan PBB masih besar, Agus menilai camat tidak mau bekerja. Nah, pemkab dapat melakukan mutasi atau bentuk sanksi kepegawaian lainnya. ‘’Saya berharap pemkab segera mengumpulkan camat dan petugas penagihan di desa dan kelurahan agar mengejar target September mendatang,’’ paparnya.
Agus juga menyarankan penerbitan surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) dilakukan sejak awal tahun. Distribusi SPPT di desa dapat dilakukan pada Januari atau Februari agar rentang penagihan PBB lebih panjang dan target pelunasan dapat tercapai. ‘’Ada baiknya seperti itu, daerah perlu mengoptimalkan sumber pendapatan dari sektor pajak ini,’’ tegasnya.